Palu
yang Pilu (1)
Akhirnya
Saya Putuskan untuk Menulis
BENCANA
gempa ini terlalu dahsyat. Meluluhlantakkan Kota Palu yang sedang bertumbuh.
Menyisakan duka di sepanjang pesisir Kabupaten Donggala. Meninggalkan rasa
perih yang teramat dalam di Kabupaten Sigi. Duka dan perih yang kemudian
mengundang empati dari seluruh penjuru negeri dan dunia.
Kampus
Universitas Tadulako, tempat saya beraktivitas sepanjang hari, hanya menyisakan
gedung-gedung yang retak. Graha Pena Radar Sulteng, tempat saya bekerja sebagai
wartawan, meski tetap kokoh dari luar tapi interiornya berantakan. Bahkan rumah
yang saya tinggali bersama keluarga, nyaris tidak layak lagi menjadi tempat
hunian yang aman dan nyaman.
Maka
di hari-hari awal pascagempa, tsunami, dan likuifaksi, saya merasa diri sebagai
korban. Sama dengan korban yang lain. Hanya berpikir tentang bagaimana bisa
survive. Di tengah situasi yang mencekam. Bagaimana mengambil keputusan-keputusan
terbaik untuk keluarga. Di tengah ketidakpastian dan ketiadaan informasi.
Jaringan
listrik dan internet sempat mati total. Tapi pesawat justeru lalu lalang di
atas udara Palu. Melintas di atas tenda-tenda pengungsian. Tempat kami bersama
anak-anak berlindung dari panas dan dingin. Pesawat-pesawat perang itu datang
mengangkut personel. Mensuplai logistik yang langka pascagempa. Sambil membawa pergi
saudara-saudara kami yang hendak meninggalkan Kota Palu.
Akhirnya
saya memutuskan untuk menulis. Setelah membaca tulisan Dahlan Iskan yang
dibagikan di WAG Radar Sulteng, beberapa hari setelah gempa. Membacanya dalam perjalanan,
membawa keluarga ke Majene, Sulbar. Pak
Dahlan, begitu antusias untuk menulis. Tapi begitu sulit untuk mendapat bahan
karena kontak ke Palu teramat sulit di hari-hari pertama.
Tidak
adil rasanya jika saya yang mengalami langsung peristiwa itu, justeru tidak
menuliskannya. Bahwa akan banyak yang menulis peristiwa serupa, biarlah. Sebab
peristiwa gempa di Jumat senja itu, meskipun menggetarkan seluruh Kota Palu dan
daerah sekitarnya tapi tetap ada sisi-sisi personal bagi setiap orang yang
mengalaminya.
Biarlah
tulisan saya yang akan terbit dalam beberapa seri akan turut melengkapi sisi-sisi
lain tentang gempa, tsunami, dan likuifaksi di Kota Palu. Sebab musibah ini terlampau
meluas dampaknya. Terlalu banyak retak yang dicipta setelahnya. Biarlah
tulisan-tulisan yang ada, hadir mengisi ruang-ruang yang retak itu. Meskipun
tetap takkan ada gambaran utuh tentang apa yang sebenar-benarnya terjadi di
Jumat senja itu.
Akhirnya
saya “terpaksa”menulis ketika mendapat penugasan dari kantor untuk memberi
pengantar pada terbitan perdana Harian Radar Sulteng pascagempa. Setelah
sepekan lebih, Kota Palu benar-benar lumpuh. Inilah tulisan itu:
Kita Tidak Berakhir
di Titik Ini
ALHAMDULILLAH,
hari-hari yang sulit berhasil kita lewati. Karena kebersamaan dan rasa senasib
sepenanggungan, ujian yang maha berat itu terasa sedikit lebih ringan.
Bencana memang
telah mencerai-beraikan rencana-rencana kita yang sudah tersusun rapi. Sebelum
musibah mencekam itu datang, 10 hari yang lalu. Seperti biasa, kami bekerja di
Graha Pena.
Sebagian masih di
lapangan. Menyiapkan berita-berita pilihan untuk pembaca. Termasuk menyiapkan
laporan gempa yang terjadi di Pantai Barat.
Segalanya berubah
di detik-detik jelang magrib itu. Ketika Graha Pena, tempat kami bekerja,
dihentak dengan kekuatan yang begitu dahsyat. Dalam hitungan detik, Palu, Sigi,
dan Donggala telah luluh lantak.
Setelah 10 hari
berlalu, kota ini berangsur "hidup" kembali. Bantuan dan relawan
masuk dari semua jalur yang terbuka. Layanan publik yang sempat lumpuh
berangsur pulih.
Radar Sulteng
adalah bagian dari kota dan daerah ini. Bagi kami, rasanya tidak lengkap bila
kota ini kembali bergeliat sendiri. Tanpa koran yang bisa menemani pagi pembaca
di tenda-tenda pengungsian.
Rasanya tidak adil,
jika kami tidak turut mengambil peran dan inisiatif. Bersama warga, menumbuhkan
harapan bahwa dengan segala keterbatasan kita tetap bisa bekerja.
Kita tidak berakhir
di titik ini. Tapi kita akan bergerak ke depan dengan segenap tekad dan harapan
yng tidak boleh padam. Bahwa kita yang masih berkesempatan, tidak boleh
terpuruk terlalu lama.
Maka dengan segenap
tenaga dan peralatan yang masih ada, Radar Sulteng harus kami hadirkan ke
pangkuan pembaca. Radar Sulteng versi cetak. Sebab Radar Sulteng versi online
sejatinya sudah aktif, beberapa saat setelah bencana itu.
Kepada pembaca
setia. Warga Kota Palu. Dan masyarakat Sulteng pada umumnya. Kami meyakinkan
untuk bersama. Kami akan selalu hadir, di hari-hari yang mungkin masih terasa
sulit ini.
Sebab hanya dengan
kebersamaan. Saling mengambil peran. Sambil tidak saling menyalahkan, kita akan
menjadi kuat. Bangkit bersama menjemput harapan-harapan yang selalu ada.
Salam
Tim Redaksi
Dan malam mini, Jumat, dua pekan setelah
bencana itu, di teras rumah, kuputuskan untuk menulis lagi.
(Bersambung)
Foto:
Gedung FH Untad yang rusak akibat gempa.
COMMENTS