Palu yang Pilu (3)
Ketika Kita Belajar pada Kehidupan Nyata
SABTU, 29 September 2018. Hari-hari yang sulit akan bermula dari hari ini. Komunikasi terputus dengan dunia luar. Listrik padam sejak kemarin sore. Menyebabkan TV, radio, dan HP tidak berfungsi. BBM pun langkah. Menyulitkan mobilitas dari satu tempat ke tempat lain.
Pelajaran datang dari situasi ini. Komunikasi dengan orang-orang dekat yang selama ini kerap terabaikan menjadi kembali intim. Bersama tetangga di tenda pengungsian, rupanya efektif mendekatkan kembali jarak yang pernah jauh karena kesibukan masing-masing.
Air begitu sulit untuk diperoleh. Setelah hampir semua tempat penampungan bocor oleh hentakan gempa kemarin sore. Bahkan untuk sekadar membasuh muka di pagi hari. Atau untuk bersih-bersih setelah buang kotoran.
Agama pun sebenarnya sudah menganjurkan, agar kita berhemat air. Untuk keperluan wudhu sekalipun. Inilah pelajaran. Agar dalam situasi yang berlebihan, kita tidak boleh boros. Sebab akan tiba suatu saat, di mana kita benar-benar tidak punya sesuatu.
Akan ada kelangkaan bahan makanan untuk hari-hari ke depan. Maka apa yang tersedia, harus diatur sedemikian rupa. Karena kita tidak tahu, pasokan bantuan dari luar akan tiba kapan. Ketika bahan makanan langkah, uang pun kurang berguna. Bahkan ATM tidak berfungsi.
Ini situasi faktual yang kami hadapi 12 jam setelah gempa. Tapi situasi ini masih dapat dikelola. Hikmahnya, ada pelajaran hidup yang nyata bagi anak-anak. Yang selama ini mungkin terbiasa terpenuhi segala kebutuhannya.
Inilah hari yang kita mau makan tapi tidak ada makanan. Mungkin masih ada bahan makanan tapi kita harus menahan diri. Sebab makan yang cukup bisa memicu buang air besar. Sementara persediaan air akan terus menipis.
Di atas semua kesulitan-kesulitan ini, gempa masih terus terjadi. Cukup keras. Menambah rasa trauma dan khawatir yang makin menjadi-jadi. Melebarkan retakan tanah dan dinding rumah.
Tentu yang paling berat, mereka yang kehilangan keluarga. Semalam sudah ada kabar, ditemukan mayat di Jalan Yos Sudarso, penggaraman Talise. Banyak kendaraan bermotor yang terjebak di sana. Ditinggal pemiliknya. Sebagian masih hidup mesinnya.
Pagi ini, kabar duka itu pun bertambah lagi. Di sekitar Palu Grand Mal, juga banyak ditemukan mayat. Di Anjungan Teluk Palu pun demkian. Ambulance pun sudah mulai hilir mudik dengan sirene. Pertanda situasi memang gawat.
Menjelang siang, kami dapat informasi, Perumnas Balaroa amblas. Banyak rumah tenggelam. Kami berharap itu hanya hoax. Tapi di tenda di depan rumah, kami kedatangan tetangga lama. Ia datang dan langsung menangis.
Rumah dan dua mobilnya tertimbun lumpur. Di Jalan Dewi Sartika. Ia keluar hanya dengan baju di badan. Kami ikut sedih dan prihatin. Sekaligus tersentak ketika ia menceritakan peristiwa di Petobo. Tentang banjir lumpur. Tanah bergeser. Yang menelan bangunan dan manusia.
Sejak itu, rasa khawatir naik berkali lipat. Jika gempa, masih ada tanah lapang. Jika tsunami, kita sudah berada di daerah yang cukup tinggi. Bila perlu naik lagi ke bukit di depan rumah yang lebih tinggi lagi.
Tapi jika ada lumpur yang bisa "mengejar" atau tanah yang tiba-tiba amblas dan bisa menelan rumah dan manusia, di mana lagi harus berlari. Hari itu, kami lalui dengan perasaan yang bercampur aduk. Cemas. Juga bersyukur karena musibah yang kami alami jauh lebih ringan dibanding yang lain
Malam mulai gelap. Kecemasan bertambah.
Di atas bukit tempat kami memasang tikar tanpa tenda, bintang berkelip indah. Ada bintang jatuh pula. Angin yang agak kencang membuat dingin tapi sekaligus mengusir nyamuk.
Suara kendaraan yang lewat pun, kadang kami kira gemuruh air bah. Jika ada teriakan dari tempat lain, kami khawatir jangan-jangan tsunami lagi.
Tapi badan ini pun sebetulnya sudah letih. Goresan luka di tangan dan kaki pun mulai terasa perih. Perut bumi sudah bergoncang. Laut sudah naik ke darat. Tanah pun amblas. Lumpur seperti hidup dan bisa memangsa.
"Ya Allah, bila benda-benda langit di atas sana juga akan jatuh ke bumi, mungkin itulah akhir dari kehidupan ini," perasaan itu hadir di relung hati terdalam. Dan angin semakin kencang. Dingin. Sebentar lagi hujan akan turun.
Kami pun turun kembali ke rumah yang jaraknya sekitar 150 meter dari lapangan terbuka yang kami tempati sebagai zona aman. Hujan benar-benar turun. Beberapa wadah ditempatkan di luar rumah. Sekadar menampung hujan untuk keperluan esok hari.
Kami pun harus berlindung di teras rumah. Dengan risiko, setiap gempa kita pun harus bangun dan berlari keluar. (Rahmat Bakri/Bersambung)
Foto: koleksi pribadi.
Situasi pesisir Teluk Palu beberapa hari setelah gempa.


COMMENTS