TAK ada keraguan bahwa eksistensi pers yang bebas dan merdeka sangat urgen dalam sebuah negara demokrasi. Pers bahkan diposisikan sebagai pilar ke empat demokrasi. Keberadaannya disejajarkan dengan lembaga eksekutif, legislatif, dan yudisial yang dikenal sebagai trias politica ala Jhon Locke dan Mostesquieu. Keunikan pers dari lembaga trias politica adalah posisinya yang berada di luar struktur baku kekuasaan sehingga lebih bebas dan luwes dalam memainkan perannya.
Armatya Sen (pemenang Nobel), menyatakan dalam negara demokrasi dengan pers yang relatif bebas, tidak pernah terjadi kelaparan yang substansial. Melalui pers, masyarakat dapat mengetahui berbagai informasi. Sedangkan informasi, menurut Andrew Puddephatt, merupakan oksigen bagi demokrasi. Dengan perantaraan pers, urusan-urusan pemerintahan disebarluaskan kepada khalayak dan menghindarkan masalah yang terkait dengan publik dikelola di ruang-ruang yang tertutup dan hanya diketahui oleh segelintir orang.
Apa yang dikemukakan di atas merupakan gambaran ideal akan eksistensi pers dan perannya dalam mendorong demokrasi dan good governance. Dalam tataran realitas, masih jauh panggang dari api. Para insan pers sendiri sebetulnya sudah menyadari, untuk mendekatkan antara harapan yang ideal dengan realitas empiris, tak ada jalan lain kecuali meningkatkan profesionalitas wartawan. Salah satu cara bersengaja untuk meningkatkan profesionalitas wartawan, sejak tahun 2010 telah diberlakukan kewajiban uji kompetensi wartawan (UKW). Seleksi alam untuk menghukum lembaga pers dan pekerja pers yang tidak profesional dipandang sudah tidak memadai di tengah euforia kebebasan seperti saat ini.
UKW untuk memastikan bahwa setiap pekerja pers memiliki kompetensi yang standar. Pada akhirnya UKW diharapkan sebagai instrumen penyaring untuk memisahkan wartawan yang kompeten dan tidak kompeten. Namun setelah lima tahun pelaksanaan UKW dan ribuan wartawan telah bersertifikat, problem dasarnya tetap tidak jauh bergeser. Praktik pelanggaran hukum dengan menggunakan wartawan sebagai kedok dan pers sebagai tameng masih kerap terdengar.
Praktik wartawan abal-abal yang menodai keluhuran profesi ini masih terus berlangsung dan mulai menjalar ke kampung-kmapung mengikuti aliran dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan sebentar lagi dana desa. Berbagai regulasi yang terkait dengan pers belum efektif mendorong pemisahan yang tegas antara kerja-kerja jurnalistik profesional dengan kerjakerja lainnya yang hanya mengatasnamakan profesi wartawan.
Hari ini, 9 Februari, Hari Pers Nasional (HPN) akan kembali diperingati. Peringatan HPN 2016 dipusatkan di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Tema HPN tahun ini adalah Pers yang Merdeka Mendorong Poros Maritim dan Pariwisata Nusantara. Pemilihan tema yang di satu sisi berusaha bersinergi dengan program pemerintah tapi pada sisi yang lain justeru gagal merefleksikan dan menjawab kondisi objektif pers Indonesia saat ini. Persoalan dasar yang dihadapi pers Indonesia (terutama di daerah) belum beranjak dari masalah keprofesian.
HPN semestinya menjadi momentum refleksi dan introspeksi bagi seluruh insan pers untuk berkarya dan melahirkan produk jurnalistik yang sesuai standar dan kode etik jurnalistik.
Dewan Pers selaku penyelenggara HPN tidak perlu tergoda dengan tema-tema yang kesannya mentereng tapi bagaimana agar tetap konsisten menjaga marwah profesi kewartawanan dengan predikatnya sebagai penegak nilai-nilai demokrasi dan pendorong terwujudnya supremasi hukum.
Bagaimana pun pers nasional tidak bekerja dalam ruang hampa. Lembaga pers tumbuh dan berkembang bersama dengan lembaga politik, hukum, dan ekonomi. Wartawan pun bekerja dan berinteraksi dengan berbagai profesi. Upaya menata kehidupan pers nasional dan ikhtiar meningkatkan profesionalitas wartawan meniscayakan perbaikan yang dilakukan secara simultan dengan lembaga dan profesi yang lain. Tapi setidaknya riwayat kesejarahan pers selalu menjadi pelopor kepentingan publik.
Untuk mengemban tugas sejarah tersebut, diperlukan selain kemampuan teknis jurnalistik, wartawan harus mendahului pekerjaannya dengan iktikad baik dan kesadaran untuk bekerja dengan mandat publik. Dalam konsep hukum, secara subjektif iktikad baik berarti kejujuran dan secara objektif berarti kepatutan. Selain itu, publik pun harus didorong untuk makin kritis terhadap setiap orang yang mengatasnamakan dirinya wartawan. Profesi wartawan diukur dari karya jurnalistik yang dihasilkan, bukan dari berapa kartu pers yang dimiliki.
(Penulis adalah wartawan Harian Radar Sulteng dan dosen Fakultas Hukum Universitas Tadulako)
*Dimuat di Harian Radar Sulteng, Selasa 9 Februari 2016.
Armatya Sen (pemenang Nobel), menyatakan dalam negara demokrasi dengan pers yang relatif bebas, tidak pernah terjadi kelaparan yang substansial. Melalui pers, masyarakat dapat mengetahui berbagai informasi. Sedangkan informasi, menurut Andrew Puddephatt, merupakan oksigen bagi demokrasi. Dengan perantaraan pers, urusan-urusan pemerintahan disebarluaskan kepada khalayak dan menghindarkan masalah yang terkait dengan publik dikelola di ruang-ruang yang tertutup dan hanya diketahui oleh segelintir orang.
Apa yang dikemukakan di atas merupakan gambaran ideal akan eksistensi pers dan perannya dalam mendorong demokrasi dan good governance. Dalam tataran realitas, masih jauh panggang dari api. Para insan pers sendiri sebetulnya sudah menyadari, untuk mendekatkan antara harapan yang ideal dengan realitas empiris, tak ada jalan lain kecuali meningkatkan profesionalitas wartawan. Salah satu cara bersengaja untuk meningkatkan profesionalitas wartawan, sejak tahun 2010 telah diberlakukan kewajiban uji kompetensi wartawan (UKW). Seleksi alam untuk menghukum lembaga pers dan pekerja pers yang tidak profesional dipandang sudah tidak memadai di tengah euforia kebebasan seperti saat ini.
UKW untuk memastikan bahwa setiap pekerja pers memiliki kompetensi yang standar. Pada akhirnya UKW diharapkan sebagai instrumen penyaring untuk memisahkan wartawan yang kompeten dan tidak kompeten. Namun setelah lima tahun pelaksanaan UKW dan ribuan wartawan telah bersertifikat, problem dasarnya tetap tidak jauh bergeser. Praktik pelanggaran hukum dengan menggunakan wartawan sebagai kedok dan pers sebagai tameng masih kerap terdengar.
Praktik wartawan abal-abal yang menodai keluhuran profesi ini masih terus berlangsung dan mulai menjalar ke kampung-kmapung mengikuti aliran dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan sebentar lagi dana desa. Berbagai regulasi yang terkait dengan pers belum efektif mendorong pemisahan yang tegas antara kerja-kerja jurnalistik profesional dengan kerjakerja lainnya yang hanya mengatasnamakan profesi wartawan.
Hari ini, 9 Februari, Hari Pers Nasional (HPN) akan kembali diperingati. Peringatan HPN 2016 dipusatkan di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Tema HPN tahun ini adalah Pers yang Merdeka Mendorong Poros Maritim dan Pariwisata Nusantara. Pemilihan tema yang di satu sisi berusaha bersinergi dengan program pemerintah tapi pada sisi yang lain justeru gagal merefleksikan dan menjawab kondisi objektif pers Indonesia saat ini. Persoalan dasar yang dihadapi pers Indonesia (terutama di daerah) belum beranjak dari masalah keprofesian.
HPN semestinya menjadi momentum refleksi dan introspeksi bagi seluruh insan pers untuk berkarya dan melahirkan produk jurnalistik yang sesuai standar dan kode etik jurnalistik.
Dewan Pers selaku penyelenggara HPN tidak perlu tergoda dengan tema-tema yang kesannya mentereng tapi bagaimana agar tetap konsisten menjaga marwah profesi kewartawanan dengan predikatnya sebagai penegak nilai-nilai demokrasi dan pendorong terwujudnya supremasi hukum.
Bagaimana pun pers nasional tidak bekerja dalam ruang hampa. Lembaga pers tumbuh dan berkembang bersama dengan lembaga politik, hukum, dan ekonomi. Wartawan pun bekerja dan berinteraksi dengan berbagai profesi. Upaya menata kehidupan pers nasional dan ikhtiar meningkatkan profesionalitas wartawan meniscayakan perbaikan yang dilakukan secara simultan dengan lembaga dan profesi yang lain. Tapi setidaknya riwayat kesejarahan pers selalu menjadi pelopor kepentingan publik.
Untuk mengemban tugas sejarah tersebut, diperlukan selain kemampuan teknis jurnalistik, wartawan harus mendahului pekerjaannya dengan iktikad baik dan kesadaran untuk bekerja dengan mandat publik. Dalam konsep hukum, secara subjektif iktikad baik berarti kejujuran dan secara objektif berarti kepatutan. Selain itu, publik pun harus didorong untuk makin kritis terhadap setiap orang yang mengatasnamakan dirinya wartawan. Profesi wartawan diukur dari karya jurnalistik yang dihasilkan, bukan dari berapa kartu pers yang dimiliki.
(Penulis adalah wartawan Harian Radar Sulteng dan dosen Fakultas Hukum Universitas Tadulako)
*Dimuat di Harian Radar Sulteng, Selasa 9 Februari 2016.
COMMENTS