GENERASI
BARU ADHYAKSA*
Dr.
Rahmat Bakri, S.H. M.H.**
ADA
kesadaran untuk mengoreksi masa lalu. Ada tekad untuk lebih baik. Ada spirit
yang kuat untuk terus mengasah diri. Itu yang saya rekam ketika menjadi salah
seorang juri dalam lomba pidato yang diselenggarakan Kejaksaan Tinggi (Kejati)
Sulteng dalam rangkaian peringatan Hari Bhakti Adhyaksa ke-58 Tahun 2018.
Peserta lomba merupakan jaksa perwakilan dari delapan Kejaksaan Negeri (Kejari)
dan Kejati Sulteng.
Sebagai
juri, saya tidak saja mencermati retorika dan penguasaan mimbar para peserta.
Saya menyimak dengan sangat saksama substansi yang disampaikan. Ada beberapa
kata kunci yang saya catat. Tentang pentingnya independensi lembaga kejaksaan.
Konsep restorative justice dalam penegakan
hukum. Kejaksaan sebagai pengendali perkara pidana. Wewenang kejaksaan yang
tidak dimiliki oleh aparat penegak hukum yang lain.
Termasuk
tentang pentingnya pendekatan preventif dalam penanganan tindak pidana korupsi
(Tipikor). Bahkan ada peserta yang sudah tiba pada kajian yang sangat
filosofis. Ia menawarkan suatu konsep (baru saya dengar); kejaksaan untuk
keadilan, kejaksaan untuk kemanusiaan. Yang membanggakan sekaligus memberi
harapan karena ungkapan-ungkapan ini diucapkan oleh jaksa-jaksa muda.
Pikir
saya, mungkin inilah generasi baru institusi kejaksaan. Generasi baru yang akan
membawa harapan perubahan. Yang akan turut mengakselerasi reformasi internal. Yang
akan menjawab tantangan zaman dalam dunia penegakan hukum. Mungkin inilah
lulusan-lulusan terbaik fakultas hukum dari berbagai universitas. Anak-anak
muda yang punya semangat, rasa percaya diri yang tinggi, dan isi kepala yang
mumpuni.
Pilihan
topik yang dibawakan peserta sangat aktual. Tidak saja mengelaborasi diskursus
akademik seputar penegakan hukum tapi sekaligus merepresentasikan tuntutan
eksternal. Seperti diskursus untuk mempertegas eksistensi kejaksaan dalam
konstitusi. Agar lembaga ini makin independen dan lepas dari pengaruh cabang
kekuasaan yang lain. Begitu pula dengan konsep restorative justice yang selaras dengan kebutuhan dan perkembangan
masyarakat.
Ke
depan, kejaksaan tidak boleh lagi seperti pemadam kebakaran dalam penegakan
hukum Tipikor, seru salah seorang peserta. Tapi harus mengedepankan tindakan
pencegahan. Inilah tujuan pembentukan Tim Pengawal, Pengamanan Pemerintah dan
Pembangunan Daerah (TP4D). Dari apa yang dipidatokan para peserta, sebetulnya
sudah menjawab sebagian besar ekspektasi publik. Harapan akan penegakan hukum
yang berkeadilan dan berkepastian.
Saat
itu, saya merasa tidak sedang menjadi juri tapi menjadi peserta kuliah umum.
Tema besarnya adalah Kejaksaan: Refleksi dan Tantangan Masa Depan. Narasumbernya
adalah mereka yang menjadi pelaku langsung. Istimewanya karena sebagian besar
di antaranya adalah jaksa-jaksa muda. Mereka yang pada saatnya nanti akan
memegang peran-peran kunci di lembaganya.
Yang
paling istimewa karena Kajati Sulteng, H Sampe Tuah SH, hadir dari awal acara sampai
akhir. Turut mendengar dan menyimak dengan penuh antusias. Ia hadir sebagai
pimpinan dan orang tua yang senantiasa memotivasi jaksa-jaksa muda agar percaya
diri dan selalu menjaga integritas. Selain saya, Dra Derry Djanggola MSi,
mantan Plt Sekprov Sulteng dan Dedy Koesmono SH MH, Asisten Tindak Pidana Umum
Kejati Sulteng, bertindak sebagai juri.
Lomba
pidato berlangsung di Aula Baharuddin Lopa Kejati Sulteng, Kamis 19 Juli 2018. Semoga
nilai-nilai keteladanan yang ditinggalkan Baharuddin Lopa menjadi spirit yang
menginspirasi insan-insan adhyaksa dalam menganvaskan pengabdian bagi negeri
ini. Selamat Hari Bhakti Adhyaksa ke-58 Tahun 2018.
*Dimuat
di Harian Radar Sulteng edisi Senin 23 Juli 2018
**Penulis
adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Tadulako dan Wartawan Harian Radar
Sulteng/www.rahmatbakri.com
COMMENTS