Tapi tidak berarti bahwa kehadiran RUU-PP kurang penting dibanding dengan RUU yang lain. Bagaimana pun setiap manusia pasti mengalami sakit dan ketika sakit ia membutuhkan pelayanan medis dan/atau pelayanan kesehatan dalam status sebagai seorang pasien. Bahkan seorang dokter sekali pun akan berubah status menjadi pasien ketika mengalami sakit dan membutuhkan bantuan dari dokter atau tenaga kesehatan yang lain. Maka dengan berbagai catatan yang menyertainya, ikhtiar pembentukan UU PP merupakan suatu langkah maju yang perlu diapresiasi.
Dalam uji sahih yang diselenggarakan DPD-RI dengan Universitas Tadulako (Untad), Senin 2 Juli 2018, catatan-catatan dimaksud muncul dari narasumber maupun peserta yang hadir. Sebagai moderator yang memandu acara yang berlangsung di Media Center Untad itu, melalui tulisan ini saya pun hendak memberikan pandangan akademis terhadap rancangan yang ada.
Salah satu yang mengemuka dalam diskusi adalah eksistensi Badan Perlindungan Pasien (BPP) sebagai penyelenggara perlindungan pasien yang diatur dalam RUU-PP. Ada kesan bahwa dalam RUU-PP, eksistensi BPP justeru jauh lebih banyak diatur dibanding perlindungan pasien itu sendiri. Padahal judul undang-undang yang hendak dibentuk adalah perlindungan pasien. Saya dapat memahami pemikiran seperti ini karena judul suatu undang-undang semestinya merefleksikan materi muatan (subject matter) apa yang hendak diatur dalam undang-undang tersebut.
Namun argumentasi lain dapat diajukan untuk soal keberadaan BPP. Merujuk pada salah satu kaidah ushul fiqih, berlaku hukum: sesuatu yang karena diwajibkan menjadi tidak sempurna kecuali dengan keberadaannya maka hukumnya menjadi wajib. Perlindungan pasien yang menjadi tujuan undang- undang tidak akan tercapai tanpa pembentukan BPP. Mengacu pada kaidah ini, BPP harus ada karena lembaga ini merupakan instrumen wajib untuk tercapainya tujuan perlindungan pasien yang hendak dicapai.
Meskipun sebagai bagian tidak terpisahkan dari pencapaian tujuan undang-undang secara keseluruhan, masih banyak hal yang perlu dikoreksi terkait dengan eksistensi, struktur, serta tugas dan wewenang BPP. Wewenang yang dimaksud adalah pengelolaan dana pasien. Dari awal mesti diperjelas mengenai status keuangan BPP. Apakah tunduk pada rezim hukum publik mengikuti status lembaganya atau diatur oleh hukum privat mengikuti sumber keuangannya yang sebagian berasal dari pasien (privat)? Perlu dipertegas sejak awal sebab potensial menjadi perdebatan sebagaimana yang pernah terjadi pada status keuangan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dalam kasus Bank Century.
Norma yang diatur dalam RUU-AP dan perlu dikoreksi adalah aturan tentang pemindahan aset BPP yang memerlukan persetujuan Dewan Pengawas, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Daerah. Dari perspektif hukum tata negara maupun hukum administrasi, agaknya berlebihan jika Dewan Perwakilan Daerah ditarik ke wilayah-wilayah yang tidak berkaitan langsung dengan tujuan dan spirit pembentukan badan ini. Dapat dipertanyakan apa relevansi persetujuan Dewan Perwakilan Daerah terhadap pemindahan aset BPP. Jangan karena RUU-PP melibatkan atau bahkan diinisiasi oleh DPD-RI sehingga kesannya hanya memanfaatkan situasi yang sebetulnya tidak tepat.
Masih banyak catatan yang perlu diajukan dalam upaya penyempurnaan RUU-PP. Terutama yang terkait dengan sinkronisasi RUU ini dengan UU Kesehatan, UU Praktik Kedokteran, UU Rumah Sakit, UU Keperawatan, dan UU Perlindungan Konsumen. Naskah akademik sebagai bagian tidak terpisahkan dari RUU-PP telah memuat evaluasi dan analisis peraturan perundang-undangan yang terkait perlindungan pasien. Namun tidak serta merta apa yang disertakan dalam analisis pada naskah akademik dapat diserap dan diselaraskan dalam norma-norma RUU-PP. Di sini dibutuhkan keahlian khusus dari para perancang maupun pembentuk undang-undang.
Hal lain yang menjadi catatan (baca:kerisauan) kalangan dokter dan tenaga kesehatan lainnya adalah potensi terjadinya kriminalisasi atau munculnya iktikad buruk dari pasien ketika UU-PP diberlakukan.Sebetulnya kerisauan ini sudah dijawab oleh satu norma dalam RUU-AP yang menegaskan bahwa perlindungan pasien berasaskan keseimbangan dan perlindungan pasien salah satunya bertujuan melindungi pasien dan tenaga kesehatan secara berimbang.
Kerisauan yang melahirkan semacam resistensi ini biasa dan wajar adanya. Dalam undang-undang yang mengatur hubungan-hubungan unik para pihak, kondisi ini selalu muncul. Misalnya, dalam hubungan antara buruh/pekerja dengan pengusaha. Keduanyan saling membutuhkan tapi kerap mengalami ketegangan hubungan karena benturan kepentingan. Undang-undang dihadirkan untuk mengatur kepentingan itu dan memberi saluran agar ketegangan hubungan tidak terjadi dan saling merugikan. Filosofi inilah yang mesti dipahami, dengan meletakkan perlindungan pasien senafas dengan perlindungan tenaga medik dan tenaga kesehatan.
*Dimuat di Harian Radar Sulteng edisi Senin, 9 Juli 2018
**Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Tadulako/Ketua Bagian Hukum Administrasi
Negara/rahmatbakri.com
COMMENTS