DALAM studi ilmu hukum,
perbincangan tentang the living law bukan hal baru. Tokoh sosiologi hukum Eugen
Ehrlich (1862-1922) sudah mengenalkan konsep ini. Ahli hukum berkebangsaan
Austria itu menempatkan the living law sebagai salah satu sumber pelengkap
hukum yang disejajarkan dengan sejarah dan teori hukum.
Perbincangan tentang the living
law mengemuka kembali dan menjadi perhatian pemerhati hukum setelah pendapat
ahli hukum tata negara Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra dimuat di salah satu
media online nasional. Yusril mengatakan hukum Islam adalah the living law atau
hukum yang hidup dalam masyarakat. Pernyataan itu disampaikan berkenaan dengan
eksistensi fatwa yang dikeluarkan MUI (Majelis Ulama Indonesia).
Karakteristik the living law
adalah sifatnya yang dinamis. Meskipun tidak diformulasikan dalam hukum positif
tapi the living law hidup dalam alam pikiran dan kesadaran hukum masyarakat.
Karena sifatnya yang dinamis maka the living law sangat adaptif terhadap
perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Menurut Yusril, salah satu instrumen
hukum Islam sebagai the living law adalah fatwa yang dikeluarkan oleh mufti
atau institusi lain yang dianggap mempunyai otoritas dalam masyarakat.
Poin penting dari pendapat Yusril
adalah pernyataannya bahwa apabila negara bersifat demokratis, maka akan
memformulasikan hukum dengan mengangkat kesadaran hukum masyarakat menjadi hukum
positif sesuai kebutuhan hukum masyarakat. Namun seandainya itu tidak atau
belum dilakukan, maka negara harus menghormati hukum yang hidup yang antara
lain tercermin dalam fatwa-fatwa yang dikeluarkan otoritatif tersebut. Negara
juga harus memfasilitasinya agar hukum yang hidup itu dapat terlaksana dengan
baik dalam kehidupan masyarakat.
Menarik bagi pemerhati hukum
sebab pada hari yang sama, ahli hukum tata negara lainnya Prof. Dr. Moh. Mahfud
MD juga menulis tema serupa di salah satu media nasional. Tentang fatwa MUI
Nomor 56 Tahun 2016 yang menyatakan “haram” bagi kaum muslimin memakai
atribut-atribut agama lain, termasuk atribut Natal. Bagi Mahfud, fatwa bukanlah
hukum positif. Dikatakan jangankan fatwa yang dikeluarkan MUI, fatwa MA
(Mahkamah Agung) yang merupakan lembaga yudikatif tertinggi pun tidak mengikat.
Fatwa hanyalah pendapat hukum (legal opinion) dan bukan hukum itu sendiri.
Setelah terbitnya pernyataan
Yusril, Mahfud MD kembali menulis di salah satu media yang berbeda. Hendak
meluruskan bahwa antara dirinya dengan Yusril tidak ada perbedaan pendapat
berkenaan dengan eksistensi fatwa MUI. Dalam tulisan keduanya, Mahfud
menambahkan bahwa jika ada orang Islam yang mau melaksanakan fatwa, itu sebagai
kesadaran beragama secara pribadi. Bukan sebagai kewajiban hukum. Tidak
mengikuti fatwa keagamaan, sanksinya adalah sanksi otonom atau sanksi yang
datang dari dalam diri sendiri berupa penyesalan atau rasa berdosa.
Sebagai orang yang belajar hukum
saya dapat memahami alur pikir kedua ahli hukum di atas. Pernyataan Mahfud MD
sangat tepat dalam konteks untuk mencegah adanya kecenderungan pihak-pihak
tertentu untuk menjadi penegak fatwa MUI. Baik yang akan dilakukan oleh penegak
hukum maupun oleh masyarakat. Meskipun setuju dengan fatwa MUI tapi demi hukum
dan sikap tertib dalam bernegara, hal ini tidak boleh dilakukan.
Pada sisi lain, pendapat yang
disampaikan Yusril juga sangat relevan dalam konteks pembangunan hukum nasional
kita ke depan. Hukum Islam sebagai the living law harus menjadi sumber
inspirasi dalam menggali dan merumuskan kaidah-kaidah hukum nasional. Tidak
terbatas pada hukum Islam tapi juga termasuk hukum adat, hukum eks kolonial
Belanda, serta berbagai konvensi internasional yang mengandung nilai-nilai
universal tentang keadilan.
Sebab salah satu karakteristik hukum menurut
H.L.A. Hart adalah efficacy yang berarti suatu aturan hukum ditaati secara
umum. Hukum yang tidak sejalan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat sulit
untuk ditaati dan tidak akan efektif berlaku.
*Dimuat di Harian Radar Sulteng
edisi Senin, 2 Januari 2017
**Penulis adalah Dosen Fakultas
Hukum Universitas Tadulako
COMMENTS