BUNGA
DESA DAN REPUBLIK DESA*
Dr.
RAHMAT BAKRI, S.H., M.H.**
BUNGA
Desa adalah judul film yang dibintangi Rhoma Irama. Populer pada tahun 1988.
Republik Desa adalah judul buku yang ditulis Prof Dr Ateng Syafrudin SH
(Universitas Padjadjaran) dan Dr Suprin Na’a SH MH (Universitas Tadulako).
Terbit tahun 2010.
Sebagaimana
judulnya, film Bunga Desa dan buku Republik Desa, memotret desa sebagai setting dan objek kajian yang menarik.
Kedua karya itu dengan caranya masing-masing, bertutur tentang keunikan suatu
entitas bernama desa. Tempat kearifan, kekariban, dan keakraban masih
terpelihara. Desa diposisikan sebagai entitas hukum (legal entity) yang harus dihargai, diistimewakan, dan dilindungi
dalam struktur pemerintahan.
Pembicaraan
tentang desa hari-hari ini terasa seksi kembali. Hampir tiga dekade setelah film
Bunga Desa booming di zamannya. Lima tahun setelah Republik Desa diterbitkan. Kebijakan (politik
hukum) pemerintah yang menerbitkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Desa, membuka ruang perbincangan itu.
Undang-undang
desa menjadi titik balik logika pembangunan. Dari yang semula sentralistik
(menetes dari pusat ke bawah) ditarik pada posisi yang lebih proporsional dan
adil. Desa dipandang sebagai inti yang
membentuk suatu negara. Memperkuat negara harus dimulai dengan memberdayakan
masyarakat desa. Filosofinya, otonomi yang asli itu memang ada di desa. Otonomi
yang diakui negara. Beda dengan otonomi daerah yang diberikan oleh negara.
Politik
hukum diikuti oleh politik anggaran. Tahun 2016, transfer dana ke desa mencapai
sekitar Rp47 triliun. Dua kali lipat dibanding tahun 2015 yang hanya sekitar
Rp20, 8 triliun. Suntikan dana yang cukup besar ini, ibarat aliran darah segar
yang menstimulus gairah masyarakat desa. Mungkin inilah bunga yang dikembalikan
negara kepada desa sebagai pemegang saham republik.
Desa
yang pernah termarginalkan dalam sejarah republik pelan-pelan mengambil peran
dalam diskursus tentang locus otonomi
dan demokrasi. Jika daerah kabupaten/kota meradang karena sebagian
urusan/kewenangan yang selama ini dinikmati ditarik ke pemerintah provinsi,
desa malah makin kuat dan mandiri.
Dari
kaca mata demokrasi, desa pun makin semarak. Tingkat partisipasi masyarakat
dalam pemilihan kepala desa sangat tinggi. Berbanding terbalik dengan tingkat
partisipasi masyarakat dalam pemilihan legislatif dan pemilihan presiden yang
makin rendah. Masyarakat desa lebih peduli dengan lingkungan dan pemimpin
terdekatnya. Memilih kepala desa itu konkret. Tapi memilih presiden dan anggota
DPR/DPRD/DPD adalah abstrak.
Jika
pemerintah konsisten, masa depan Indonesia sesungguhnya ada di desa. Jika desa
mulai menawarkan harapan, secara otomatis kompleksitas persoalan kota akan ikut
terurai. Setiap tahun ajaran baru, ribuan penduduk desa hijrah ke kota sebagai
mahasiswa/pelajar. Membawa sepeda motor dan turut mensubsidi kemacetan. Tinggal
di kota dan setiap hari ikut memproduksi sampah. Beban kota semakin berat
ditindih persoalan sosial.
Setelah
desa makin menjanjikan, jumlah mahasiswa yang datang dari desa untuk berkuliah di
kota mungkin akan bertambah. Tapi pertambahan jumlah itu berbanding lurus
dengan jumlah lulusan perguruan tinggi yang pulang kembali ke desa. Pulang
untuk mempraktikkan ilmu dan teori yang diperoleh di bangku kuliah.
Deskripsi
di atas dibangun sebagai harapan ideal atau skenario yang sukses. Tapi bila
tidak berhati-hati dan salah kelola, transfer dana ke desa dapat pula menjadi
malapetaka kolektif. Ingat awal-awal otonomi daerah bergulir, korupsi ikut
terdesentralisasi. Tingginya partisipasi dalam pemilihan kepala desa ternodai
oleh massifnya politik uang.
Inilah
adalah pekerjaan rumah yang besar. Penguatan dan pemberian keistimewaan
terhadap desa yang dimaksudkan sebagai koreksi atas pemerintahan yang
sentralistik di masa lalu, akan kehilangan makna jika masalah korupsi dan
politik uang tetap dilestarikan.
Bunga
desa hanya akan mekar di tangan pengurus republik desa yang amanah serta
memiliki kompetensi dan integritas. (**)
*Dimuat
di Harian Radar Sulteng edisi Senin, 9 Mei 2016.
**Penulis
adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Tadulako.
**Foto
merupakan koleksi pribadi. Hamparan persawahan di Desa Palipi Kecamatan Sendana
Kabupaten Majene Sulbar.
COMMENTS