PASAR
Seni Sukawati, akhirnya menjadi salah satu tempat yang saya kunjungi dalam
perjalanan ke Bali, kali ini. Sama sekali tidak diagendakan sebelumnya. Tapi
menyahuti keinginan isteri yang hendak berbelanja di pasar tradisional. Jadilah
pasar yang terletak di Kabupaten Gianyar ini, sebagai pilihan.
Dalam
penelusuran melalui mesin pecari google,
Pasar Seni Sukawati direkomendasikan sebagai tempat belanja yang murah meriah.
Yang penting pintar-pintar menawar. Dari tempat kami menginap, di Swiss-Belhotel
Petitenget Seminyak, tarif Grab ke Pasar Sukawati Rp108 ribu.
Kamis,
9 Agustus 2018, kami meninggalkan hotel sekitar pukul 09.00 Wita. Mobil yang
kami tumpangi membela kepadatan jalan di pagi menjelang siang itu. Melewati
Kota Denpasar, ibukota Provinsi Bali. Sudah tiga kali saya berkunjung ke Bali tapi
belum sampai ke Denpasar sebagai pusat kota dan pemerintahan.
Saya
tidak melewatkan kesempatan ketika melewati Kota Denpasar, mengamati penataan
kotanya. Membandingkannya dengan kota-kota lain di Indonesia yang pernah saya kunjungi.
Merasakan jalan-jalannya yang agak sempit dan pendek. Melihat kantor-kantor
pemerintah dan outlet-outlet barang-barang branded
seperti Puma dan Levi’s.
Pelan-pelan,
mobil meninggalkan Kota Denpasar. Keluar dari keramaian kota. Mengikuti jalan
yang sempit, kadang menanjak, tapi mulai sepi. Kadang-kadang melewati hamparan
persawahan dengan tanaman padi yang sedang hijau-hijaunya. Ya, memasuki
Kabupaten Gianyar, seperti memasuki kawasan yang sepertinya sudah tidak asing
lagi.
Rupanya
sebagian kawasan ini pernah menjadi lokasi syuting Film Televisi (FTV) yang
tayang di SCTV. FTV adalah hiburan favorit saya ketika indekos di Jojoran III
Surabaya. Sekadar pembunuh rasa sepi ketika melewati proses kuliah di Fakultas
Hukum Airlangga. Sampai kembali ke Palu, sekitar tahun 2010, saya masih sering
menonton FTV. Ceritanya ringan dengan lokasi syuting di Pulau Bali yang
eksotik.
Putu
Aryastu, driver yang mengantar kami,
seperti umumnya driver di Bali,
sangat piawai menjelaskan apa saja tentang Bali. Dari aspek wisata, budaya,
masyarakat, dan perkembangan daerahnya. Ketika melewati Desa Celuk, ia
menjelaskan kekhasan potensi desa itu. Sebagai pusat kerajinan perhiasan perak
dan emas. Begitulah di Bali, setiap desa memiliki potensi dan keunikan sendiri.
Tidak
berselang lama, kami tiba di Pasar Seni Sukawati. Putu Aryasuta yang berpofesi
sebagai tour service, akan menunggu
selama satu jam. Tarif yang diminta Rp250 ribu sudah termasuk Rp108 ribu, rute
Seminyak-Pasar Sukawati. Dalam perjalanan, ia menawarkan layanan tambahan itu. Agar
ia tidak pulang kosong setelah mengantar kami. Sebaliknya, kami pun tidak perlu repot mencari
transportasi lain untuk kembali ke Seminyak.
Bukan
hanya repot tapi biayanya bisa berkali-kali lipat. Sebab kawasan-kawasan
seperti Pasar Sukawati tidak dimasuki angkutan online seperti Grab. Diproteksi oleh angkutan konvensional.
Sementara tarif yang mereka tetapkan bisa sampai tiga kali lipat dari tarif
angkutan online. Saya langsung yakin
dengan penjelasan pak Putu, sebab driver
yang mengantar kami sehari sebelumnya, dari Discovery Mall di Kuta menuju Swiss
Belhotel, memberi informasi serupa.
CARI
PEMBANDING
Pengunjung
pasar belum terlalu ramai. Saya yang biasa ke Thamrin City pun mendapati Pasar
Sukawati, dari luar biasa-biasa saja. Pengunjung kelihatan sepi. Yang tampak
menonjol adalah kehadiran turis-turis muda asal Tiongkok. Memasuki gerbang
pasar, tampak di setiap lapak, ibu-ibu penjual menawarkan barangnya.
Melambaikan tangan memanggil pembeli dengan kain dagangan mereka.
Inilah
perlunya referensi awal. Harus pintar menawar. Tips lainnya, dari saya, jangan
gampang menjatuhkan pilihan. Cari dan temukan harga terbaik. Menawar dan
mencari pembanding, harus ditanam dalam pikiran dalam-dalam. Penting agar tidak
mudah goyah ketika berhadapan dengan jurus-jurus penjual di pasar yang sudah
terlatih.
Kami
langsung masuk ke bagian terdalam pasar. Yang belum terjamah oleh pengunjung
lainnya. Lapak pertama tentu sekadar check
harga sebagai pembanding. Di lapak pertama, tawar menawar pun terjadi. Sarung
pantai kualitas terbaik, dilapaknya, ditawarkan dengan harga Rp60 ribu per
lembar. Ditawar Rp20 ribu. Ia turun Rp40 ribu. Kami naik Rp25 ribu. Ia turun
Rp30 ribu. Bisa Rp25 ribu tapi kain kualitas kedua. Tidak ketemu.
Kami
tinggalkan dengan satu referensi tambahan. Soal harga Rp30 ribu yang
kemungkinan masih bisa kurang. Tapi dibandingkan dengan harga di pusat ole-ole
yang ada di Kuta, harga Rp30 ribu sudah jauh lebih rumah. Sebab sekitar sebulan
sebelumnya, kain serupa saya beli di salah satu pusat ole-oleh terkenal di
kawasan Kuta dengan harga Rp86 ribu.
Masuk
ke barisan lapak yang lebih dalam lagi. Ketemu harga Rp25 ribu. Transaksi pun dilakukan.
Makin menarik perjalanan ke pasar kali ini. Di pasar-pasar yang pernah saya
kunjungi sebelumnya, berlaku fatsum
untuk tidak saling mengganggu. Bila pembeli sudah berhadapan dengan seorang
penjual, rasanya pantang bagi penjual yang lain untuk menarik perhatian pembeli
tersebut. Dengan isyarat kediapan mata sekali pun.
Rupanya,
ini tidak berlaku di sini. Segala cara untuk menarik perhatian akan dilakukan,
agar sang pembeli beralih. Artinya, sedikit saja pelayanan mengecewakan atau
tawaran dari sebelah lebih menyakinkan, konsumen bisa beralih seketika. Itulah
keunikan sekaligus kehangatan bertransaksi di pasar. Ada interaksi. Ada proses
untuk saling menjajaki dan menjaga. Bagi pembeli, harga terendah selalu menjadi
target. Tapi ini bisa berubah, bila penjual piawai menarik simpati pembeli.
Sebaliknya, penjual akan fleksibel
sepanjang masih dapat keuntungan.
Kami
tidak boleh berlama-lama, sebab perjanjian dengan driver hanya satu jam. Melebihi kesepakatan tentu harus ada
negosiasi baru. Rasanya pengalaman pertama berkunjung ke Pasar Sukawati cukup
berkesan. Pesan saya, jangan hanya mengejar harga terendah. Usahakan agar
jangan membeli satu produk di satu lapak. Berbagilah pada beberapa penjual. Dengan
ini, semua dapat. Kita pun meninggalkan pasar dengan iringan senyuman dari
banyak orang. Minimal sebanyak tempat kita membeli. (rahmat bakri)
COMMENTS