DANA DESA: MADU ATAU RACUN?
Oleh: Dr. Rahmat Bakri, S.H., M.H.
DESA adalah narasi tentang kehidupan yang
penuh damai. Jauh dari hiruk pikuk. Kehidupan di sana berjalan mengikuti ritme
alam yang penuh harmoni. Tapi, itu narasi tentang desa di masa lalu.
Kehidupan di desa yang pernah menjadi setting film Bunga Desa dan lagu
Primadona Desa, sekitar tahun 1988.
Kini,
desa pun telah jauh berubah. Dalam segala aspek, nyaris tidak ada bedanya
dengan kehidupan di kota. Bahkan dalam hajatan politik, warga desa selain
dihadapkan pada agenda politik nasional (pilpres dan pileg DPR dan DPD), agenda
politik daerah (pilgub/pilbup dan pileg/DPRD), juga memiliki agenda politik
sendiri, yakni pilkades.
Maka narasi tentang desa hari-hari ini,
bukan lagi tentang kicau burung dan anak kecil tanpa alas kaki yang
berlari-lari di atas pematang. Kini, warga desa dan terutama elit-elit desa
makin pintar bicara politik. Fasih tentang agenda-agenda pemberdayaan dan
kesejahteraan. Bahkan mahir menghitung detail angka-angka proyek.
Sejak reformasi bergulir dan struktur
kepengurusan partai politik sampai ke desa, sebetulnya sejak itu desa sudah
mengalami fase transisi. Puncaknya ketika pemerintah melahirkan undang-undang
desa sebagai sebuah politik hukum yang membalikkan praktik pemerintahan
terpusat menjadi menyebar dan berpusat di desa-desa.
Undang-undang desa lahir dari sebuah
politik hukum yang kemudian melahirkan dana desa sebagai politik anggaran.
Setiap desa mendapat guyuran dana dalam jumlah besar. Dana desa seperti madu
bagi desa. Sengaja diberikan agar desa makin kuat, berdaya, dan bergairah.
Kalau desa kuat
dan berdaya maka urbanisasi dapat ditekan. Jika desa sudah bergairah, anak-anak
muda desa yang berkuliah di kota akan pulang ke desanya setelah sarjana.
Pelan-pelan kota tidak akan sesak dan macet. Simpulnya, bila desa kuat maka
kota akan ikut sehat. Semua ini bisa terwujud jika desa diberi madu: dana desa.
Tahun 2015 pengucuran dana desa untuk
seluruh desa di Indonesia dimulakan. Di beberapa desa yang saya kunjungi kurun
waktu tersebut, saya turut menjadi saksi gairah warganya membangun. Lingkungan
makin tertata, lampu jalan di pasang di setiap ujung lorong, sarana olahraga
dibangun, dan lainnya. Dana desa benar-benar menjadi madu yang menguatkan,
menyehatkan, sekaligus merangsang gairah baru.
Miris karena dalam waktu yang sama,
cerita tentang dana desa tak sedikit pula yang bersimpul negatif. Mulai dari
proyek fiktif sebagai modus penyalahgunaan keuangan negara yang sudah lazim
hingga cerita tentang dana desa yang digunakan untuk pesta perkawinan. Ada
kepala desa yang diberhentikan sementara karena ketidakmampuan menyusun laporan
pertanggungjawaban keuangan. Sampai sejumlah kepala desa harus duduk di kursi
pesakitan pengadilan tindak pidana korupsi karena menyalahgunakan keuangan
desa.
Pada
titik inilah dana desa bermetamorfosis menjadi racun. Uang negara untuk
kesejahteraan bersama justeru disalahgunakan untuk kepentingan pribadi elite
desa. Virus korupsi ikut menyebar ke pelosok terkecil republik bernama desa.
Faktor penyebabnya tentu tidak tunggal.
Ada penyalahgunaan karena lemahnya integritas tapi ada pula kesalahan karena
rendahnya kompetensi mengelola uang dalam jumlah yang tidak sedikit. Karena
itu, terhadap fenomena jamaknya kepala desa yang tersandung kasus korupsi dana
desa, pemerintah tidak boleh tinggal diam.
Harus ada upaya tersistem untuk
menyelamatkan dana desa sekaligus menyelamatkan putra-putra terbaik desa agar
tidak terseret ke pusaran korupsi karena lemahnya kompetensi dalam pengelolaan
dan pertanggungjawaban keuangan. Agar dana desa tetap menjadi madu yang
menguatkan. Bukan racun yang mematikan.(***)
*Tulisan ini
dimuat di www.radarsultengonline.com
pada 29 Mei 2017.
**Penulis adalah
wartawan Harian Radar Sulteng dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Tadulako.
COMMENTS