PALU YANG PILU (2)

SHARE:



Palu yang Pilu (2)
Ketika Maut Terasa Begitu Dekat


AWALNYA HARI YANG BIASA

Jumat, 28 September 2018. Awalnya seperti hari-hari biasa. Tapi saya sengaja tidak masuk kampus. Ingin di rumah saja. Setelah dua pekan sangat sibuk. Karena jadwal kuliah yang memang padat. Juga karena kegiatan Pusbang DePSA untuk mahasiswa baru plus sosialisasi di 11 fakultas yang kami laksanakan selama enam hari. Cukup menyita energi.

Sambil menunggu salat Jumat, saya mengisi waktu dengan mempersiapkan bahan kuliah. Membuat presentasi mata kuliah Hukum Perencanaan Ruang. Sejak memiliki web pribadi, saya agak serius menyiapkan bahan presentasi. Salah satu bentuk keseriusan itu dengan menyiapkan power point yang lebih menarik.

Mulailah mendownload gambar-gambar Kota Palu di internet. Khususnya pantai-pantainya yang amat eksotik itu. Sangat relevan dengan mata Kuliah Hukum Perencanaan Ruang. Karena diselingi dengan pekerjaan-pekerjaan di rumah, akhirnya bahan presentasi tersebut tidak tuntas hingga waktu salat Jumat tiba. 

Saya tidak pernah membayangkan bahwa gambar-gambar yang saya download itu, dalam hitungan jam ke depan akan tersapu oleh dahsyatnya tsunami. Setelah salat Jumat, saya langsung di depan laptop. Sambil menunggu kedua anak saya pulang sekolah. Sudah dua minggu ini mereka protes. Tidak pernah ditemani ke bioskop atau sekadar jalan-jalan di mal. Saya ingin melunasi janji-janji yang selalu tertunda itu. 

Tapi telepon saya berdering. Panggilan masuk dari Ketua Komdis Untad. Katanya, hari Senin (1 Oktober 2018) saya dengan beliau mendapat tugas dari Rektor untuk kegiatan di luar kampus. Lalu kami janjian akan bertemu di ruangan Bagian Hukum dan Tata Laksana Rektorat. Pada pukul 14.00. 

Tiba di kampus langsung naik ke lantai empat rektorat menggunakan lift. Baru turun lagi ke lantai tiga. Saya, Ketua Komdis, dan Kabag HTL menyiapkan segala sesuatunya untuk keperluan kami pada hari Senin nanti. Saya pamit hendak turun ke ruangan saya di lantai dua, Pusbang DePSA. 

Masih di tangga, tiba-tiba semua pegawai berhamburan keluar ruangan. Panik dan berlarian. Rupanya barusan terjadi gempa. Sebagian merasakan gedung berlantai empat itu bergetar. Saya tidak merasakannya tapi turut berlari ke lantai dasar. 

Karena sudah di bawah, saya putuskan untuk pulang ke rumah saja. Tidak kembali naik ke lantai dua, sebagaimana rencana awal. Di parkiran rektorat, saya menerima telepon dari isteri. Mengabarkan tentang gempa yang terjadi barusan.

Sampai di rumah, saya membuka pesan WA. Grup kami di Radar Sulteng mengabarkan kerusakan akibat gempa yang terjadi di Pantai Barat Kabupaten Donggala. Ada bangunan yang roboh. Korban jiwa. Dan warga yang berlarian ke lapangan terbuka. Mencari tempat yang aman. Wartawan diperintahkan membuat liputan yang selengkap mungkin.

Meskipun bahaya itu semakin dekat—dekat jaraknya dari Palu dan dekat waktunya ke pukul 18.02 Wita saat gempa 7,4 SR—kami di rumah tetap menjalankan aktivitas seperti biasa. Terus mengupdate perkembangan terbaru gempa lewat media online

Sambil menunggu anak saya yang akan pulang sekolah. Katanya, akan pulang setelah  menyelesaikan urusannya sebagai Ketua OSIS SMPN Madani. Karena gempa itu, saya hanya merevisi sedikit saja acara jalan-jalan sore atau malam nanti.

“Silakan pilih tempat mana saja. Asal jangan ke mal. Untuk sementara kita hindari bangunan-bangunan yang tinggi. Jangan terjadi gempa susulan,” kataku kepada putri saya Aflah Riztaniarani yang sudah tidak sabar menunggu kakaknya pulang. Persisnya tidak sabar untuk segera keluar rumah.

SEKETIKA SEMUANYA TELAH BERUBAH

Waktu terus berjalan. Ada gempa-gempa kecil. Tapi sebagai warga Palu, kami sudah akrab dengan getaran-getaran kecil semacam itu.  Dan tiba-tiba saya merasakan goncangan yang begitu menghentak. Gempa. Tapi kenapa sekeras ini? 

Saya mencoba meraih putri saya, Aflah. Memegangnya dengan kuat. Tapi seakan lepas oleh guncangan yang lebih kuat lagi. Lampu padam bersamaan bunyi keras di setiap sudut rumah. Kamar jadi gelap. Atap rumah seakan rubuh. Lantai sebagian terkelupas. 

Dengan kepanikan yang begitu hebat, kami berusaha keluar kamar. Meraba dalam gelap dengan bersandar ke tembok. Sempat terpikir untuk masuk ke bawah meja,  sekiranya jalan keluar sudah tertutup sama sekali.

Pintu kamar telah terlewati. Saya berteriak. Meminta yang lain agar keluar rumah. Sampai di pintu samping rumah, pintu sulit terbuka. Tertindih oleh palang pintu yang bergeser karena guncangan. Dengan susah payah,  kami semua akhirnya berhasil keluar dari rumah. Dari pintu yang berbeda-beda.  

Sepeda motor yang terpakir di halaman semuanya tersungkur ke tanah. Mobil pun maju mundur sendiri. Tanah seperti begitu lembek diinjak.

Kami berkumpul di halaman. Menyaksikan tanah yang tiba-tiba retak di sekeliling kami. Melihat rumah yang terhuyung-huyung oleh guncangan keras dari bawah. 

Sebuah pesawat yang baru saja take off di Bandara Mutiara melintas di atas kami. Dan tiba-tiba suara gemuruh terdengar dari Teluk Palu. Dari ketinggian kami melihat ada asap yang mengepul hitam. 

Tadi, saya dikontak putri saya Tita. Ia minta dijemput dari sekolahnya. Ia panik dan saya mendengar isakan tangis rekan-rekannya yang ketakutan. “Kita tidak bisa keluar. Cari tempat aman nak. Turun ke lapangan,” itu pesan saya, sesaat sebelum kami putus kontak.

Inilah detik di mana manusia benar-benar tidak punya daya dan kuasa. Waktu ketika maut terasa begitu dekat. “Sungguh ya Allah, pada akhirnya kami akan kembali kepada-Mu. Tapi mohon jangan dalam suasana yang menakutkan seperti ini,” saya berdoa, setengah menawar di dalam hati. Sambil mengarahkan anggota keluarga yang lain, ke tempat yang lebih tinggi di depan rumah kami.

Dalam situasi seperti ini, harta tidak bisa menolong. Ketenaran tidak bisa menenangkan jiwa. Hanya doa, kepasrahan, sekaligus harapan agar kami diberi kesempatan untuk melewati ujian dan rasa takut ini. 

Kami tidak tahu apa yang terjadi di tempat lain. Tapi ada suara histeris yang bergema dari seluruh penjuru. Bersamaan bunyi klakson kendaraan. Pertanda warga sedang mencari tempat yang tinggi. Untuk menghindari tsunami yang mungkin saja datang.

Kami mencari Tita ke sekolah tapi sekolah sudah kosong. Kami berulang-ulang menelponnya tapi tidak bisa tersambung. Di antara gempa yang masih berulang, ibunya memutuskan untuk berjalan kaki. Mencari dalam gelap. Di sekitar sekolahnya. Memanggil namanya. Di antara kerumunan orang.

Tidak ada hasil. Itulah keresahan baru yang dialami oleh mereka yang terpisah dengan keluarga. Semuanya serba cepat. Alat komunikasi pun terputus total. Handphone yang selama ini begitu diandalkan, nyaris tidak berfungsi ketika itu.

Hanya harapan yang bisa menenangkan dalam situasi yang tidak berdaya itu. “Pasti ia menyelematkan diri. Mencari tempat yang aman. Ia sudah besar,” kataku mencoba menguatkan diri sendiri sambil menenangkan adiknya, ibunya, dan anggota keluarga yang bersama kami.  

Keluarga lain juga kehilangan anggotanya. Di tempat kami berkumpul, ada ibu yang belum bertemu anaknya. Ada suami yang kehilangan kontak dengan isterinya. Ada kakak yang mencari adik perempuannya. Sementara malam begitu gelap. Tidak ada jaringan telepon. Tidak semua kendaraan terisi BBM. Sebagian jalan dikabarkan sudah rusak dan tidak bisa dilewati.       

Dan sebuah SMS masuk ke handphone saya. “Ayah Tita minta maaf,” begitu isi pesan itu dari nomor yang tidak tercatat di handphone saya. Saya SMS balik tidak terkirim. Telepon balik tidak tersambung. Tapi setidaknya sudah ada harapan.

Alhamdulillah karena Arfan, ponakan saya,  berhasil menghubungi kembali nomor itu lewat kartu XL. Hanya pembicaraan singkat dan mengabarkan bahwa Tita dan temannya ikut bersama pengungsi di Jalan Untad. Lega perasaan ini.

Saya tidak boleh pergi. Harus menjaga dan memandu semua anggota keluarga ke tempat aman sekiranya gempa lebih besar terjadi lagi. Atau air laut saking tingginya sehingga menjangkau tempat kami yang relatif sudah berada di ketinggian.

Maka ibunya dan kakaknya yang pergi mencari. Dalam gelap. Melintasi jalan melewati kampus Untad ke arah utara. Makin sulit karena tiang listrik dan kabel-kabelnya sudah melintang di jalan.

Alhamdulillah karena sebelum pukul 24.00 Wita, Tita telah ditemukan. Kembali berkumpul dengan kami semua. Dengan tetangga di kompleks BTN Teluk Palu Permai. Pada saat yang sama,  kami mendengar kabar Jembatan Palu IV telah rubuh. Melihat video tsunami di Palu Grand Mall. 

Gempa susulan masih terus terjadi. Keras. Malam yang begitu mencekam kami lewati dalam perasaan khawatir. Dengan fisik yang lelah dan sebagian luka yang mulai terasa di sekujur tubuh. Dengan harapan semoga ada kesempatan untuk memperbaiki diri lebih baik lagi.  (Rahmat Bakri/bersambung)  
Foto: Dokumen Humas BNPB
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgqWBvPMvfn-XqJWh8le2fPR1Wdm9JBRAOKa98K1s9c3FMJcqnhQvp3FhYqd62TbQfNpQGmvY4vZrxTWfnTiG_zZzDl_7xcjFyBuIa-FleUkKthyphenhyphen1VDGzGIOPpFmqQHVHTjVvyTYxugn4I/s320/Capture.PNG
     



  

  
    




COMMENTS

Name

Bahan Presentasi,14,Dasar Ilmu Hukum,3,Destinasi,1,Diskursus Hukum,30,Galeri,2,Hukum Administrasi Negara,3,Hukum Dan Pers,8,Hukum keuangan Negara,2,Hukum Pajak,1,Hukum Tata Ruang,2,Humaniora,10,Journey,10,Jurnalistik,6,Liputan Media,12,Materi S2,5,My Agenda,1,Tita's Blog,1,
ltr
item
Untuk Hukum, Pers, dan Demokrasi: PALU YANG PILU (2)
PALU YANG PILU (2)
file:///C:\Users\Acer\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image001.png
Untuk Hukum, Pers, dan Demokrasi
http://www.rahmatbakri.com/2018/10/palu-yang-pilu-2.html
http://www.rahmatbakri.com/
http://www.rahmatbakri.com/
http://www.rahmatbakri.com/2018/10/palu-yang-pilu-2.html
true
1127449243518043551
UTF-8
Loaded All Posts Not found any posts VIEW ALL Readmore Reply Cancel reply Delete By Home PAGES POSTS View All RECOMMENDED FOR YOU LABEL ARCHIVE SEARCH ALL POSTS Not found any post match with your request Back Home Sunday Monday Tuesday Wednesday Thursday Friday Saturday Sun Mon Tue Wed Thu Fri Sat January February March April May June July August September October November December Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec just now 1 minute ago $$1$$ minutes ago 1 hour ago $$1$$ hours ago Yesterday $$1$$ days ago $$1$$ weeks ago more than 5 weeks ago Followers Follow THIS PREMIUM CONTENT IS LOCKED STEP 1: Share. STEP 2: Click the link you shared to unlock Copy All Code Select All Code All codes were copied to your clipboard Can not copy the codes / texts, please press [CTRL]+[C] (or CMD+C with Mac) to copy