Palu yang Pilu (4)
Presiden Datang di Hari Kedua
Minggu, 30 September 2018. Gempa susulan masih terus terjadi. Hingga hari ini. Itu yang membuat kami tidak berani masuk rumah. Ketika hujan turun tengah malam tadi, kami hanya berteduh di teras. Dengan perasaan penuh waswas. Tidak lupa menadah air hujan. Biar sekadar untuk cuci piring yang kotor.
Persediaan makanan dan minuman makin terbatas. Pemilik toko dan kios sembako memilih tutup. Masih trauma. Mungkin pula pertimbangan keamanan. Kabarnya, beberapa supermarket di Kota Palu telah kehabisan stok. Setelah isinya dikosongkan oleh warga yang berburu bahan makanan.
Entah sampai kapan gempa susulan ini akan reda dan berhenti. Entah akan berapa banyak korban jiwa dari peristiwa ini. Entah bangunan apa saja yang sudah hancur atau rusak. Entah kapan listrik akan normal. Entah kapan pemerintah pusat maupun daerah, akan mekakukan sesuatu. Semuanya serba belum pasti.
Antrean warga di SPBU mengular. Butuh waktu 5-6 jam, untuk memperoleh BBM. Di SPBU tertentu, BBM bahkan sudah ditimba dari bak penampungan. Situasi yang sangat riskan. Sebab jumlah aparat yang berjaga hanya terbatas. Yang mengantre bisa seribuan. Terik matahari begitu menyengat. Sedikit saja, emosi bisa tersulut.
Hari ini pula, kami menyaksikan hilir mudik pesawat terbang rendah. Jenis pesawat yang sebelumnya tidak pernah melintas di langit Palu. Bukan pesawat komersial yang biasa melayani penerbangan dari dan ke kota ini.
Aflah, puteri saya yang kelas 3 SD, masih sempat bermain dalam situasi ini. Menyusun kerikil kecil bertuliskan S.O.S. Di tempat yang agak lapang. Katanya untuk menarik perhatian awak pesawat. Agar menjatuhkan bantuan ke tempat kami. Mungkin inilah cara seorang anak mengelola tekanan dari sebuah situasi yang berubah cepat.
Di bagian lain, ambulance seperti bolak-balik di jalanan. Sirinenya meraung. Sejak kemarin begitu. Tapi lebih sering hari ini. Puluhan mayat terpapar matahari di halaman samping RS Undata. Beberapa orang datang, mencari keluarganya. Semua peristiwa ini nyaris seperti mimpi saja. Seperti yang biasa disaksikan di TV. Tapi sekarang kami alami sendiri.
Siang ini, saya ke Graha Pena Radar Sulteng. Untuk pertama kalinya pascagempa. Gedung itu masih kukuh berdiri. Hanya terlihat beberapa retakan di dinding basement. Belum tahu interiornya. Di bagian belakang, pagar rubuh. Dari sini pula, tampak puing-puing yang tersisa oleh sapuan tsunami. Beberapa rumah terbelah. Terlihat isi dalamnya. Tidak tahu nasib penghuninya.
Saya datang memeriksa air yang biasa mengalir 24 jam di kantor ini. Tapi kering. Padahal inilah yang kami harap untuk mengatasi sementara kelangkaan air di rumah. Setelah itu, saya masih mendapatkan sedos indo mie. Harganya Rp105 rb. Di kios yang hanya di buka pintunya. Dijaga ketat pemiliknya dari luar. Sementara isterinya melayani dari dalam. Palu yang sedang berduka, sepertinya juga sudah tidak aman.
Presiden Jokowi dan beberapa menteri datang ke Palu. Didampingi Gubernur Longki Djanggola, Presiden mengunjungi korban yang dirawat di tenda di halaman depan RS Undata. Melihat kedatangan Presiden dan rombongan, saya, Aflah, dan ponakan saya dari Tolitoli, memanfaatkan kesempatan itu.
Melihat langsung Presiden, setidaknya menjadi hiburan dalam suasana duka. Bersyukur jika kami tersorot kamera wartawan. Sebab itu akan menjadi kabar baik, bagi keluarga dan kolega di berbagai daerah yang ingin tahu keadaan kami pascagempa.
Presiden pulang meninggalkan janji pemulihan secepatnya. Meninggalkan bingkisan sembako yang langsung dibagikan kepada warga. Semoga keadaan ini lekas tertangani. Sebelum semuanya terlambat dan menderita terlalu lama. (Rahmat Bakri/Bersambung)
COMMENTS