RAHMAT
BAKRI**
KOMPETISI
antarkelompok dalam negara demokrasi merupakan suatu keniscayaan. Akan selalu
ada upaya dari setiap kelompok untuk mendesakkan kepentingannya demi pencapaian
tujuan politik kelompoknya. Upaya itu kemudian, akan diikuti dengan klaim-klaim
kebenaran demi menegaskan posisi masing-masing dalam suatu kontestasi.
Pada
titik ini, kompetisi kepentingan kelompok akan bergeser seolah-olah menjadi
kontestasi antarnilai dan hak yang sama-sama dijamin dalam konstitusi. Contoh
aktual yang dapat disebutkan adalah kontroversi #2019GantiPresiden. Pro kontra
terjadi, di antara kelompok politik
pendukung pemerintah dan kelompok politik pendukung oposisi.
Pihak
yang pro terhadap #2019GantiPresiden mendalilkan gerakannya pada kebebasan
berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat sebagai hak setiap orang yang
dijamin dalam konstitusi. Kebebasan adalah unsur demokrasi yang paling
esensial. Sebaliknya, pihak yang kontra terhadap #2019GantiPresiden mendasarkan
penolakannya pada alasan adanya tindakan yang sudah mengarah pada pelanggaran
hukum.
Deklarasi
#2019GantiPresiden dinilai potensial mengganggu keamanan dan ketertiban dalam
masyarakat. Menebar kebencian, pencemaran nama baik, perbuatan tidak
menyenangkan, menganjurkan perbuatan melawan hukum, dan ucapan-ucapan yang
dikenal dengan fighting word merupakan
kebebasan bereskpresi yang dimungkinkan dilakukan pembatasan (derogable) atau tidak dilindungi (unprotected).
Tidak
ada hukum spesifik untuk mengatur, membenarkan, dan melarang secara
absolut pro kontra di atas. Gerakan
#2019GantiPresiden tidak boleh dilarang karena merupakan bagian dari hak
berekspresi dan menyatakan pendapat. Pada saat bersamaan, gerakan #2019GantiPresiden harus dijaga agar
tidak tergelincir pada kebebasan berekspresi yang unprotected sebagaimana telah disebutkan di atas.
Tampak
adanya ruang kompetisi antara nilai-nilai yang sama-sama dijamin dalam
konstitusi. Antara kebebasan berpendapat dan pentingnya menjaga ketertiban
umum. Antara kebebasan berekspresi dan kewajiban menjaga moral publik dari
bahaya fitnah dan ujaran kebencian. Ini adalah konsekuensi negara demokrasi.
Selalu ada kompetensi antara hak-hak dasar warga negara. Antara kerahasian dan keterbukaan.
Antara keamanan dan kenyaman. Dan seterusnya.
Hukum
tidak mampu menjangkau ruang-ruang yang kabur itu. Ia hanya dapat disempurnakan
dalam praktik manusia bernegara atau kesadaran individu sebagai warga negara.
Yakni, manusia yang toleran terhadap perbedaan di sekitarnya. Warga negara yang
menyadari makna kebebasan dalam demokrasi sebagai kebebasan yang selaras dengan
kehendak dan kepentingan publik. Bukan kebebasan yang lepas secara mutlak dari
tatanan dan tuntunan etis dalam bermasyarakat.
Inilah
yang dimaksud dalam Pasal 28J ayat (1) UUD NRI 1945 bahwa setiap orang wajib
menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Penghayatan
terhadap rumusan konstitusi ini akan menghadirkan keadaban publik dalam praktik
manusia bernegara guna menyempurnakan kelemahan-kelemahan hukum yang bersifat
legalistik semata.
Disayangkan
karena kompetisi antarkelompok saat ini sudah jauh dari keadaban publik. Maka
yang muncul adalah maraknya persekusi yang mengancam rasa aman sebagai hak yang
dijamin oleh konstitusi bagi setiap orang. Persekusi merupakan suatu perlakuan
buruk kepada orang lain yang dilatari benci atau permusuhan kepada identitas,
keyakinan politik, atau agamanya. Keadaan ini akan semakin memburuk jika negara
dan segenap aparaturnya bersikap tidak netral atau tampak tidak netral.
*Dimuat di Harian
Radar Sulteng edisi Senin, 27 Agustus 2018
**Penulis
adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Tadulako/Ketua Bagian Hukum
Administrasi Negara.
COMMENTS