DIASPORA MANDAR DI NUSANTARA

Diaspora Mandar di Nusantara

SUDAH cukup lama kerinduan ini tersimpan. Bertemu orang-orang Mandar di perantauan. Menapaki jejak mereka yang menyebar di nusantara. Terutama di Kalimantan Timur (Kaltim) dan Kalimantan Selatan (Kalsel). Hingga menyeberang ke pulau-pulau kecil di Kabupaten Sumenep Jawa Timur. 

Dari Pulau Sumbawa Nusa Tenggara Barat hingga ke sejumlah daerah di Bali. Desa Sumberkima di Kabupaten Buleleng dan Kelurahan Gilimanuk Kabupaten Jembrana,  merupakan wilayah di mana perantau asal Mandar di Pulau Bali, kini bermukim. 

Di Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah, ada Labuang Bajo. Suatu daerah pesisir yang didiami mayoritas orang Mandar. Mereka bekerja sebagai nelayan. Di Pantai Barat (Donggala) dan Pantai Timur (Parigi Moutong) juga banyak bermukim orang-orang Mandar.

Begitu pula di Desa Tuva Kabupaten Sigi. Desa ini berjarak sekitar 50 Km dari Kota Palu. Di sana mereka hidup rukun dengan penduduk asli dan pendatang dari berbagai suku. 

Di Desa Tinigi, Kabupaten Tolitoli, sebagian warganya masih keturunan Mandar. Sehari-hari biasa berkomunikasi dengan bahasa Mandar. Suatu hari, saya berkendara dari Palu-Tolitoli-Buol-Palu. Perjalanan yang cukup melelahkan itu bersengaja. Menapaktilasi cerita-cerita masa kecil saya. Tentang Donggala-Tolitoli-Buol sebagai destinasi orang-orang Mandar berlayar.

Dari jalur-jalur ini mereka tersambung ke pulau-pulau kecil di kawasan Kalsel. Terus melintas ke Pulau Masalembo Kabupaten Sumenep. Sampai ke Pulau Karimunjawa. Belakangan saya tahu, orang Mandar juga sampai ke Tegal, Jawa Tengah. 

Kabarnya sampai pula ke Pulau Belitung, Sumatera. Yang terakhir ini merujuk pada potongan syair lagu: nasauaq di alangan melullung kaeng lotong; mattattangai to pole di Balitung.  

Tentang migrasi orang-orang Mandar ke berbagai daerah lain, terabadikan pula dalam syair lagu: Buraq Sendana tilili naung di Kaili. Kaili adalah suku yang mendiami Lembah Palu. 

Di Sulawesi Selatan, orang-orang Mandar mendiami Desa Ujung Lero Kecamatan Suppa Kabupaten Pinrang.  Sebagian lagi berada di pulau-pulau di Kabupaten Pangkep. 

Migrasi orang-orang Mandar ke berbagai daerah, dipicu oleh situasi keamanan yang tidak kondusif pada masa itu. Sekitar tahun 1950-1960. Masa yang dikenal dengan 710 dan pemberontakan DI/TII. Namun konon pula, sebelum itu, orang-orang Mandar sebetulnya sudah berlayar ke berbagai wilayah. Baik sebagai pedagang maupun pelaut. 

Tulisan ini, bukanlah cerita sejarah. Ini adalah rekonfirmasi atas pengalaman masa kecil saya. Di sebuah kampung bernama Totolisi, Kecamatan Sendana, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat. 

Masih teringat pada masa itu, keluarga kami dari Pulau Masalembo, datang berkunjung. Menggunakan kapal tradisional bernama baqgoq. Sampai puluhan jumlahnya. Lebih sepekan mereka terombang-ambing di lautan. Untuk sampai ke Tana Mandar. Tanah leluhurnya. 

Mereka datang membawa hasil pertanian. Ikan kering. Dan apa saja yang bisa dibagikan sebagai ole-ole bagi keluarganya. Sebaliknya, setelah pulang mereka akan membawa kaset yang berisi lagu-lagu Mandar. Parang hingga kain sutera. 

Di kampung, mereka disambut begitu hangat. Lazimnya keluarga jauh. Yang lama tidak berjumpa. Ada keluarga yang akan kecewa, kalau rumahnya tidak sempat dikunjungi untuk bermalam.  

Karena waktu yang terbatas. Supaya tidak ada yang dibuat kecewa di momen bahagia itu. Ada saja jalan keluarnya. Biasanya yang datang akan membagi diri. Orang tuanya nginap di satu rumah keluarga. Sementara anak-anaknya bisa nginap di rumah keluarga yang lain. 

Atau jika tidak bisa dengan cara itu karena hanya sendiri. Bisa dengan manajemen waktu. Malam di rumah seorang keluarga. Siangnya pindah lagi ke rumah keluarga yang lain. Begitu seterusnya.

Sampai tiba waktunya untuk kembali. Muhibah ini akan ditutup di rumah yang didatangi pertama kali. Biasanya rumah keluarga terdekat. Atau yang paling dituakan. Demikianlah. Erat dan hangatnya rasa kekeluargaan pada masa itu.

Saya belum berkesempatan mengunjungi Pulau Masalembo. Pulau Karapputang atau Pulau Karayaan di Pulau Laut Kalsel. Pulau Sumbawa. Di mana sebagian keluarga kami menetap hingga kini. Atau ke Pulau Karimiang, tempat di mana kedua orang tua saya pernah tinggal.

Tapi saya bersyukur karena, Sabtu 8 Desember 2018, dapat bersua dengan orang-orang Mandar di perantauan. Yang datang dari berbagai daerah di Indonesia. Dengan profesi yang beragam. Politisi, pengusaha, akademisi, birokrat, pimpinan pondok pesantren, hingga pensiunan TNI.

Salah satunya dengan Ustad Said Ahmad. Beliau fasih berbahasa Mandar meskipun sudah lahir dan besar di Pulau Pagarungan yang masuk dalam wilayah Kabupaten Sumenep. Kini beliau tinggal di Jakarta dan memimpin sebuah pondok pesantren.

Kami bertemu dalam Mubes V Badan Pengurus Pusat Kerukunan Keluarga Mandar Sulawesi Barat (BPP KKMSB) di Hotel Golden Boutiq, Jakarta. (Rahmat Bakri)

Jakarta-Garuda GA622, 10-11 Desember 2018