Dr. RAHMAT BAKRI, S.H., M.H. |
BANYAKNYA pos belanja mengikat yang harus diakomodir dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) merupakan salah satu komplikasi yang menyebabkan politik anggaran yang berfokus pada pembangunan infrasrtuktur menjadi tidak realistis. Demikian ditulis M. Ikhsan Modjo dalam kolom di Harian Jawa Pos, Senin 4 Juli 2016 dengan judul Politik Anggaran Negara dalam Dilema.
APBN
merupakan produk politik berdimensi ekonomi yang dibingkai dengan instrumen
hukum. Setelah amandemen UUD NRI 1945, mandatory
spending mulai dikenal sebagai produk konstitusi. Hal itu terlihat dalam ketentuan
Pasal 31 ayat (4) UUD NRI 1945 yang memerintahkan negara memprioritaskan
anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari APBN dan APBD
untuk memenuhi kebutuhan pendidikan nasional.
Ketentuan konstitusi
ini kemudian diikuti sejumlah undang-undang yang mewajibkan pemerintah
mengalokasikan besaran anggaran untuk sektor tertentu. Seperti UU Nomor 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan yang mewajibkan pemerintah mengalokasikan anggaran
kesehatan minimal sebesar lima persen dari APBN. Hal serupa berlaku untuk
anggaran otonomi khusus Provinsi Aceh dan Papua yang perhitungannya ditetapkan
dalam undang-undang.
Mandatory spending
sebagai politik anggaran yang dituangkan dalam konstitusi maupun berbagai
produk hukum setingkat undang-undang mencerminkan adanya prioritas terhadap
sektor tertentu. Untuk mengamankan agar sektor prioritas tersebut memperoleh
anggaran yang cukup maka harus diatur dan ditetapkan dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Kepastian besaran
anggaran adalah kata kuncinya. Adanya kepastian ini memproteksi kemungkinan
terjadinya utak-atik anggaran sebagai kompromi politik dalam proses
penganggaran. Jaminan kepastian dengan demikian merupakan keunggulan atau sisi
plus dari sistem mandatory spending.
Setiap sektor yang terkategori sebagai mandatory
spending akan bebas dari utak-atik selama proses pembahasan anggaran
berlangsung.
Namun kepastian
sebagai sisi plus dari mandatory spending sekaligus merupakan titik lemah atau
sisi minus dari sistem ini. Sebagaimana pendekatan hukum yang terlalu
mengedepankan aspek kepastian cenderung akan mengabaikan aspek kemanfaatan.
Demikian pula mandatory spending yang
telah mengunci besaran anggaran untuk sektor tertentu mengakibatkan terbatasnya
fleksibilitas penganggaran untuk membiayai sektor lain yang juga bermanfaat.
Semakin banyak sektor
yang terkategorikan sebagai mandatory spending maka ruang fiskal (fiscal space) APBN akan semakin
terbatas. Maka sangat perlu dipikirkan dalam perumusan berbagai peraturan
perundang-undangan di masa depan untuk tidak menambah jenis mandatory spending yang baru. Tidak
semua sektor yang dinilai sangat prioritas harus dikunci dengan mandatory spending.
Pendidikan dan
kesehatan sebagai sektor yang sangat strategis untuk saat ini mungkin masih
harus dijamin dan diamankan dengan mandatory spending. Namun tidak berarti jika
suatu ketika kondisi telah berubah, aturannya harus tetap dipertahankan. Fleksibilitas
juga dibutuhkan untuk kemanfaatan umum yang lebih besar. Sebagaimana GBHN yang
kembali diwacanakan juga memiliki sisi plus minus.
Kepastian yang
terlalu ekstrim akan menyebabkan setiap presiden terpilih memiliki cita rasa
yang sama. Padahal sistem pemilu secara langsung adalah ajang jual beli program
antara rakyat dengan kandidat.
*Dimuat di Harian Radar
Sulteng edisi Senin,
11 Juli 2016.
**Penulis
adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Tadulako.
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteNama : Lukman
ReplyDeleteStambuk : D.102 19 018
MK : Keuangan Negara
Dosen Pengampu : Dr. Rahmat Bakri, S.H., M.H
Video 1
Video 1 : Berbicara hukum tertentu contohnya hukum keuangan negara harus mengupayakan bahwa pembahasan itu dikaitkan dengan konsitusi atau digali dari hukum konsitusi yang tertinggi yaitu UUD 1945 pada pasal 23 sebelum amandemen aturan-aturan atau norma yang diatur didalam pasal-pasal tersebut sangat terbatas hanya terdiri dari satu pasal dan delapan ayat, kemudian amandemen ketiga UUD 1945 yang dilakukan pada tahun 2001 dielaborasi atau makin diperluas khususnya di pasal 23 menjadi 8 pasal dan 12 ayat, jadi UUD 1945 sebelumnya diatur secara terbatas dan sekarang sudah diatur secara lebih memadai, berbicara kuangan negara maka kita mendapatkan dasar di pasal 23 s/d 23G. Konsitusi hanya mengatur secara esensi atau fundamental, suatu negara hanya bisa eksis kalau didalam keuangan negara dikelola secara baik. Pada pasal 23 memiliki 23 ayat 1 disebutkan APBN sebagai wujud pengelolaan keuangan negara yang ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan terbuka bertanggung jawab dan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Video 2 : Berbicara pengelolaan keuangan Negara menurut UUD 1945 maka kita akan mencermati pasal-pasal yang ada dalam BAB 8 dan BAB 8A terdapat di pasal 23 ayat 1 dan berakhir di pasal 23G terdapat 13 norma yang terkandung dalam pasal tersebut, pada video sebelumnya sudah membahas pasal 23 ayat 1 maka untuk pertemuan ini akan membahas pasal 23 ayat 2 disebutkan bahwa rancangan undang-undang APBN diajukan oleh presiden untuk dibahas bersama DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD dalam satu pasal ini ada tiga lembaga Negara yang disebut peranannya : Presiden, DPR dan DPD, Pasal 23 ayat 2 adalah rangkaian pasal 23 ayat 1.
Video 3 : Didalam pasal 23E ayat 1 terdapat BPK menyatakan bahwa untuk memeriksa pengelolaan dan pertanggung jawaban keuangan diadakan suatu badan pemeriksa keuangan yang bersifat bebas dan mandiri, maka disebut suatu system pengelolaan yang meliputi perencanaan, penggunaan, penguasaan dan pertanggungjawaban dan pada akhirnya akan dipertanggunjawabkan oleh presiden. BPK menurut dua sifat yaitu bebas dan mandiri bebas artinya tidak terpengaruh dan tidak boleh dipengaruhi dengan lembaga yang lain misal presiden dan DPR kalau di Negara lain keberadaan BPK ini tidak bersifat mandiri hanya perpanjangan tangan tangan dari DPR oleh konsitusi kita didalam pasal 23E ayat 1 UUD 1945 diberikan status yang berdiri sendiri. Fungsi dari BPK ini adalah sebagai suatu system yang dimulai dari perencanaan, penggunaan dan penguasaan itu dilakukan oleh presiden dan DPR dan memasuki tahap pertanggungjawaban maka ini dilakukan oleh BPK, system pemeriksaan dibagi tiga yaitu : Presiden, DPR dan Auditor BPK, ketiganya saling berkaitan dengan yang lain eksekutif dalam proses pemeriksaan keuangan Negara adalah pihak yang terperiksa karena dia adalah pengguna keuangan Negara, sementara lembaga legislate ini berfungsi sebagai pihak yang meminta pertanggungjawaban karena DPR terlibat dalam perseteruan apa yang diajukan oleh pemerintah atau presiden dan kedua lembaga ini diminta pertanggungjawaban oleh BPK, DPR haru memastikan bahwa keuangan Negara yang dikelola oleh pemerintah satu tahun anggaran benar-benar bisa dipertanggungjawabkan kegunaanya sebesar-besar kemakmuran rakyat.