Faktor Non Hukum
dan
Penegakan Hukum
Dr. RAHMAT BAKRI,
S.H., M.H.
PROSES
penegakan hukum sejatinya terbebas dari anasir-anasir non hukum. Hanya dengan
cara inilah hukum dapat menjadi mekanisme yang paling elegan untuk
menyelesaikan setiap masalah secara adil dan bermartabat. Di depan hukum setiap
orang diperlakukan sama dan setara. Bahkan ketika seorang warga negara terpaksa
berhadapan dengan negara (melalui aparaturnya) dalam suatu proses hukum, prinsip
kesetaraan tetap harus dipegang. Sebab inilah manifestasi negara hukum yang
memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum bagi
setiap orang.
Bila
anasir-anasir non hukum mulai menyusup dalam proses penegakan hukum, maka hukum
telah menyimpang dari fungsinya sebagai mekanisme penyelesaian masalah secara bermartabat.
Hukum akan kehilangan maknanya yang hakiki sebagai jalan untuk mewujudkan
keadilan. Gejala semacam ini kuat
terasa dalam jagat penegakan hukum kita kurun waktu terakhir. Opsi-opsi
dalam penegakan hukum seperti digantungkan pada pertimbangan-pertimbangan non
hukum. Kasus Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok merupakan salah satu contoh
mutakhir.
Sebelum
aksi 4 Nopember 2016 (411), proses hukum
berkenaan dengan laporan dugaan penistaan agama, terasa lambat. Bahkan
disinyalir akan diulur (stalling time)
setelah Pemilukada DKI selesai. Namun setelah munculnya aksi 411, penanganan
kasus Ahok dipercepat. Presiden
memberikan garansi tidak akan ada intervensi. Gelar perkara pun dilakukan
secara terbuka. Hasilnya, Ahok tersangka dan dicegah ke luar negeri. Ada kesan
lokomotif hukum bergerak hanya jika ditarik atau didorong oleh kekuatan
eksternal.
Sebelumnya,
ada kasus mantan Meneg BUMN Dahlan Iskan yang tersangkut pelepasan aset PT
Panca Wira Usaha (PWU) Jawa Timur (Jatim). Surat perintah penyidikan, surat penetapan
tersangka, dan surat perintah penahanan dikeluarkan pada hari yang sama. Terhadap
penahanan yang dilakukan Kejati Jatim, Dahlan Iskan mengaku tidak kaget karena
merasa sudah diincar. Pada bagian lain, Indonesia Corruption Watch (ICW)
memberi rapor merah pada Jaksa Agung, M Prasetyo. Menurut ICW, ada kesan
penanganan kasus korupsi menyasar orang tertentu dan kasus lain dihentikan,
dipetieskan atau dituntut ringan (Radar Sulteng, Jumat 18 Nopember 2016).
Dua
kasus di atas dengan segala kerumitan yang melingkupinya memberi gambaran bahwa
suatu proses hukum dapat digerakkan oleh motif di luar hukum oleh aktor non
hukum. Inilah tantangan serius bagi penegakan hukum kita dewasa ini. Tantangan
ini hanya bisa dijawab dengan profesionalitas dan integritas aparat penegak
hukum sebagai kunci agar ruang penegakan hukum kedap suara dan tidak masuk
angin. Tanpa profesionalitas dan
integritas, maka penegakan hukum akan
mengarah pada jalan kesesatan (fallacy).
Sesat karena tidak mengetahui kesesatannya (paralogis)
dan sesat karena bersengaja untuk menyesatkan orang lain (sofisme).
Tekanan
massa, opini publik, intervensi penguasa, penyuapan, dan lainnya adalah faktor
yang dapat mendorong proses penegakan hukum menyimpang dari jalan yang benar.
Segala cara dapat dilakukan oleh orang yang sedang berhubungan dengan hukum (against the law dan with the law) untuk
mencapai tujuannya. Tugas penegak hukum adalah menjadi filter agar faktor
maupun motif non hukum tidak mempengaruhi dan menentukan jalannya suatu proses
hukum.
Penegak
hukum hanya fokus pada isu hukum dan membebaskan diri pada isu selainnya. Supaya
penegakan hukum tidak menjadi alat untuk
melindungi orang-orang jahat. Agar hukum tidak digunakan untuk menindas
orang-orang yang tidak bersalah. Kita tidak ingin bangunan negara hukum
Indonesia ambruk karena hukum disalahgunakan .
*Penulis
adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Tadulako)
**Dimuat
di Harian Radar Sulteng edisi Senin, 21 Nopember 2016.
COMMENTS