Urgensi Reformulasi Sistem dan
Aturan Hukum Pemilu
Dr. Rahmat Bakri, S.H., M.H.
Pemilihan Umum (Pemilu) 2019
menjadi titik balik munculnya aspirasi dari berbagai kalangan untuk meninjau
ulang sistem yang ada. Pemilu 2019 dinilai menyisakan persoalan-persoalan
sosial di masyarakat yang dampaknya potensial merusak kohesi sosial bangsa Indonesia.
Persoalan dimaksud adalah terjadinya polarisasi masyarakat yang sangat tajam
akibat perbedaan aspirasi dan dukungan terhadap pasangan calon presiden dan
wakil presiden.
Polarisasi tidak terhindarkan
karena sistem yang ada cenderung didesain secara bersengaja untuk memperketat
persyaratan pasangan calon presiden dan wakil presiden melalui pemberlakuan
presidential threshold. Persyaratan ini berimplikasi terhadap dua hal. Pertama,
tidak memberi peluang bagi partai-partai politik untuk mencalonkan pasangan
presiden dan wakil presiden secara mandiri sesuai dengan aspirasi dari
masing-masing konstituen. Kedua, melahirkan oligarki politik sehingga Pemilu
yang dilaksanakan tidak berhasil mengejawantahkan pelaksanaan kedaulatan rakyat
yang seutuhnya tapi sekadar menjadi instrumen pergantian wakil rakyat dan
pembentukan pemerintahan baru sebagai fungsi minimal dari Pemilu.
Pemberlakuan presidential
threshold sebagaimana diatur dalam undang-undang Pemilu memaksa partai-partai
politik yang ada untuk saling berkoalisi guna memenuhi ambang batas pencalonan
sebesar paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) atau 25 persen dari suara sah nasional. Implikasi lebih lanjut adalah
jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden yang terlibat dalam
kontestasi Pemilu sangat terbatas sebagaimana yang telah terjadi pada Pemilu
2019 dan Pemilu 2014 yang hanya memiliki dua pasangan calon presiden dan wakil
presiden.
Terbatasnya jumlah pasangan calon
presiden dan wakil presiden yang berkontestasi dalam Pemilu sebagai sarana
legal-demokratis menyeleksi kepemimpinan nasional, tidak senapas dengan kondisi
dan realitas sosial bangsa Indonesia yang sangat majemuk dalam berbagai aspek.
Secara filosofis, Indonesia sebagai sebuah negara bangsa (nation state) yang
berdiri dan dibangun di atas keberagaman suku, agama, budaya, serta aliran dan
aspirasi politik, idealnya memberikan peluang dan ruang bagi setiap anak bangsa
untuk menjadi pemimpin nasional.
Secara sosiologis, spirit untuk
memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi seluruh anak bangsa untuk
menjadi pemimpin nasional akan menjadi daya rekat bagi Indonesia sebagai sebuah
bangsa yang majemuk. Pada saat yang sama, dengan jumlah kontestan yang lebih
banyak akan menjadikan kompetisi lebih dinamis dan memungkinkan rakyat untuk
memilih calon pemimpin nasional yang benar-benar sesuai dengan aspirasi
politiknya. Meskipun pada akhirnya hanya satu pasangan calon yang akan menjadi
pemenang tapi dengan munculnya sejumlah kandidat dari latar belakang yang
beragam akan merefleksikan citra dan suasana keindonesiaan yang seutuhnya.
Fenomena lain yang patut menjadi
catatan dari penyelenggaraan Pemilu 2019 adalah kasus kematian petugas, baik
dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), maupun
anggota Polri yang terlibat dalam pengamanan Pemilu. Kematian para petugas yang
jumlahnya mencapai sekitar 554 orang tersebut merupakan peristiwa pertama dalam
sejarah penyelenggaraan Pemilu di Indonesia. Berbagai spekulasi dan analisis
kemudian berkembang dan dikaitkan dengan beratnya beban kerja yang dipikul para
petugas Pemilu di lapangan.
Beban kerja yang berat tersebut
lalu dikaitkan dengan Pemilu serentak yang baru pertama kali diterapkan pada
Pemilu 2019. Pemilu yang menggabungkan pemilihan legislatif untuk mengisi
keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) provinsi, kabupaten, dan kota serta Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dengan
pemilihan presiden dan wakil presiden sesuai dengan kehendak konstitusi.
Selain persoalan presidential
threshold dan kasus kematian petugas, Pemilu 2019 juga masih menyisakan
persoalan oligarki politik. Meskipun secara prosedural Pemilu sudah berlangsung
baik sesuai dengan hukum yang berlaku tapi citarasa sistem oligarki masih
sangat kental. Benar rakyat telah bebas untuk memilih wakil dan pemimpinnya
tapi rakyat tidak punya kuasa untuk menentukan siapa yang akan mereka pilih.
Penentu atas pilihan-pilihan tersebut masih menjadi domain segelintir elite di
tubuh partai politik atau pihak-pihak yang punya akses dan kuasa untuk memengaruhi
keputusan politik.
Dari berbagai catatan yang
diuraikan di atas, urgen dan relevan kiranya untuk kembali merumuskan suatu
formulasi atau desain baru sistem dan aturan hukum kepemiluan yang ada. Pemilu
yang dirancang sedemikian rupa agar nature-nya yang bersifat sentrifugal,
secara alamiah punya mekanisme sendiri untuk kembali menyatukan rakyat yang
pernah terbelah dalam suatu kontestasi. Pemilu yang dirancang lebih sederhana
dan efisien dalam teknis pelaksanaannya tanpa mengabaikan mandat konstitusi.
Pemilu yang benar-benar menjadi sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang
memastikan terpilihnya wakil rakyat dan pemimpin nasional secara legitimate.
(Penulis adalah Dosen Fakultas
Hukum Universitas Tadulako)
COMMENTS